Kalau desa itu manusia, mungkin dia sudah lelah. Bukan karena pekerjaan sawah yang berat, tapi karena setiap lima atau sepuluh tahun sekali, dia harus pura-pura semangat menerima “badan usaha baru” yang katanya akan menyelamatkan ekonomi desa. Dari Koperta ke BUUD, berubah jadi KUD, lalu direformasi lewat BUMDes, kemudian dipoles lagi jadi BUMADes, dan sekarang..brum…muncul si gagah berani Koperasi Merah Putih. Merah putihnya bendera, tapi jangan-jangan isinya tetap sama: merah karena utang, putih karena tidak jalan.
Sejarah Singkat Siklus “Semangat Baru” Ala Desa.
Tahun 1963. Dibentuklah yang namanya Koperta (Koperasi Pertanian). Koperta ini dibentuk melalui kebijakan pemerintah sebagai koperasi yang melayani petani dalam bidang pupuk, panen, dan distribusi hasil pertanian. Mengacu pada PP dan UU Koperasi No. 14 Tahun 1965.
Tahun 1966–1967. Muncul sebuah badan usaha BUUD (Badan Usaha Unit Desa). Transformasi dari Koperta menjadi BUUD sebagai upaya integrasi koperasi desa dan pertanian. Berlandaskan UU No. 12 Tahun 1967. Wilayah kerja mencapai 1.000 hektar lahan pertanian.
Tahun 1973. Dibentuk lagi sebuah koperasi dengan mengusung brand KUD (Koperasi Unit Desa) yang Diatur dalam Inpres No. 4 Tahun 1973, sebagai koperasi multifungsi. Tahun 1974 tercatat ada 21.349 koperasi desa, dengan lebih dari 4,5 juta anggota.
Tahun 2005–2014. Pada era yang sudah jauh dari bayang-bayang orba muncullah sebuah badan usaha yang berbentuk BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) Resmi berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Mengelola potensi ekonomi desa dengan modal dari dana desa dan aset milik desa. Didukung Permendagri No. 39 Tahun 2010 dan PP No. 39 Tahun 2021.
Tahun 2021. Setelah dirasa tidak cukup dengan BUMDes untuk sinergi yang lebih besar dibuatlah BUMADes (Badan Usaha Milik Antar Desa). Dimaksudkan sebagai sinergi antar desa dalam pengelolaan potensi ekonomi kolektif. Namun banyak desa masih kesulitan mengelola BUMDes, apalagi BUMADes.
Tahun 2025. Setelah pesta demokrasi usai muncul kembali lagu lama kaset baru dengan wajah Koperasi Merah Putih (Kopdes Merah Putih) Diluncurkan melalui Inpres No. 9 Tahun 2025 dan SE Menkop No. 1 Tahun 2025. Didukung oleh Permenkumham No. 13 Tahun 2025. Ditargetkan hadir di 80.000 desa/kelurahan.
“Tanda-Tanda Déjà Vu yang Terus Diulang.Nama Baru, Problem Lama”.
Setiap ganti nama, yang berubah cuma spanduk dan kop surat. Pengurusnya tetap sama. Kapasitasnya tetap minim.
Jargon Megah, Realita Garing
Dari “soko guru ekonomi rakyat” hingga “koperasi digital masa depan”, tapi masih bingung bikin RAT.
Top-down dalam Baju Gotong Royong. Katanya inisiatif desa, tapi regulasi, struktur, dan targetnya dari pusat.
Dana Dulu, Laporan Belakangan.
Proyek dikejar pencairan. Setelah itu kondisinya tidak jalan, kas kosong, dan ketua tidak bisa dihubung.
Mungkin Yang Dibutuhkan “Koperasi Nostalgia Desa” Bukan Koperasi Merah Putih.
Daripada terus berganti nama dan gagal, mari buat koperasi yang menjual nostalgia: foto-foto RAT tahun 1975, pidato koperasi Orba, dan teh manis dalam gelas plastik. Produk unggulan: “mimpi lama, dikemas ulang jadi harapan baru”.
Saya tidak anti koperasi. Tapi mari jujur, dari zaman Koperta hingga BUMDes saja kita gagal membangun sistem berkelanjutan. Apakah Koperasi Merah Putih benar akan jadi solusi, atau parade optimisme di atas realita yang tak berubah?
Koperasi bukan soal bendera. Tapi soal siapa yang pegang kendali, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang benar-benar terlibat.
Kalau yang berubah cuma nama dan logo, dan pola pikirnya masih “asal cair dan asal jalan”, maka tunggulah beberapa tahun lagi, akan muncul nama baru. Dan desa? Tetap jadi panggung untuk eksperimen pembangunan yang tak kunjung matang.
Referensi:
1. UU No. 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian.
2. UU No. 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian.
3. Inpres No. 4 Tahun 1973 dan Inpres No. 2 Tahun 1978.
4. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
5. Permendagri No. 39 Tahun 2010 dan PP No. 39 Tahun 2021.
6. Inpres No. 9 Tahun 2025, SE Menkop No. 1 Tahun 2025, Permenkumham No. 13 Tahun 2025.
7.Data Kementerian Koperasi dan UKM, Arsip Nasional RI.
Oleh: Orang Biasa yang Sudah Kenyang Menyaksikan “Revolusi Desa” Berkali-kali.