Indonesia seakan tak pernah kehabisan akal menciptakan badan usaha di desa.
Dari Koperta, kita pindah ke BUUD, lalu lahirlah KUD di era Orde Baru. Datang era reformasi, muncullah BUMDes, diikuti BUMADes yang katanya lebih efisien. Kini, pemerintah kembali datang dengan semangat merah putih membara Koperasi Merah Putih.
Wajahnya segar, jargonnya membara, semangatnya nasionalis. Tapi izinkan saya menyampaikan satu kenyataan pahit : “Masalah utama ekonomi desa bukan ada atau tidaknya badan usaha tapi kesiapan SDM-nya”.
SDM Desa: Siap Rapat, Tidak Siap Dagang
Tak sedikit badan usaha atau koperasi di desa yang didirikan dengan semangat luar biasa. namun isinya kosong. Coba kita tanya pengurus atau koperasi yang ada di desa dengan pertanyaan sederhana…
- “Siapa target pasarnya?”
- “Siapa kompetitornya?”
- “Berapa volume supply sayur, beras, telur dan lain-lain setiap hari, setiap minggu atau setiap bulan untuk dikampung sendiri ?”.(pertanyaan ini hanya sampel jika memang nanti bidang usahanya bergerak di distributor pangan/sembako untuk suply warung-warung kecil disekitar)
- “Apakah sudah ada kontrak antar-desa untuk saling suplai kebutuhan?”
Jawabannya kebanyakan seperti ini ..“Belum ada, nanti mau kita rapatkan dulu”.
Kemudian Rapat dilakukan, berita dipublikasikan, papan nama dipampangkan, sekretariat dibuat dadakan, Tapi usaha tidak pernah berjalan.
Seolah-olah koperasi hanya cukup dengan logo dan papan nama yang akan usang oleh waktu. Padahal dagang itu soal ritme, volume, pasar, dan ketepatan waktu.
Kita semua paham pendirian koperasi merah putih bukanlah sebuah perlombaan dadakan sesuai dengan yang diinstruksikan.
Supply Chain Tanpa Rantai
Petani kita ahli menanam padi, tetapi siapa yang menjual hasil panen dengan margin yang menarik hati?
Pengurus koperasi sering dipilih karena “orang dekat”, bukan karena mereka paham dengan bisnis dan maslahat.
ada juga diisi oleh orang yang “punya waktu luang”, bukan yang punya kompetensi dagang.
Akhirnya terjadi hal ironis, Desa yang memproduksi beras, sayur, dan telur justru belanja sembako dari luar desa.
Supply chain gagal terbentuk karena tidak paham volume, tidak ada sistem distribusi, dan tidak ada keberanian untuk berkomitmen antar-desa.
Bayangkan sebuah desa penghasil telur ayam. Desa tetangganya kekurangan telur. Tapi mereka tetap belanja dari pasar yang ada di kota.
Kenapa tidak saling beli antar desa?
Jawabannya sederhana ?
Tidak ada komitmen, tidak ada komunikasi, dan tidak ada keberanian membuat kontrak antar desa.
Semua desa mungkin ingin jualan. Tapi tak satu pun mau jadi pembeli bagi desa tetangga.
Inilah potret ekonomi lokal kita, mandiri secara badan usaha, tapi miskin semangat gotong royong dagang. Tapi kalau dagang untuk kepentingan pribadi pasti semangat.
Renungan Buat Desa, Pengurus Koperasi atau BUMDes.
Kepada desa-desa tercinta, pengurus koperasi atau BUMDes yang mulia, Berhentilah membuat badan usaha demi laporan. Lebih baik satu usaha kecil yang hidup, daripada lima koperasi yang mati suri.
Isi pengurus dengan orang yang tepat, bukan kerabat dekat, teman dekat apalagi hanya bisa absen rapat. Kalau perlu, rekrut anak muda yang peduli dengan ekonomi, paham logistik, digitalisasi, dan pemasaran.
Buat kesepakatan antar desa. Satu desa produksi telur, satu lagi produksi sayur. Tukar-menukar atau saling jual-beli. Ini bukan kembali menggiring kita ke zaman barter, tapi ini adalah strategi ekonomi lokal yang realistis.
Belajar dari toko modern. Mereka tahu kapan harus stok barang, mereka tahu kapan musim, mereka tahu kapan harus cuci gudang, dan merekapun tahu bagaimana mencetak pelanggan dan menjaga kepercayaan pelanggan.
Koperasi atau BUMDes mungkin bisa jadi solusi. Tapi… tanpa SDM yang paham dan keberanian desa untuk bekerja sama, semua badan usaha entah apapun bentuknya hanya akan jadi formalitas belaka.
Karena sejatinya yang dibutuhkan desa bukan badan usaha baru, tetapi cara berpikir baru dalam mengelola usaha.
“Desa tidak akan maju karena banyaknya badan usaha yang dibuat, tetapi karena satu keputusan berani: menjual hasil sendiri, membeli dari tetangga sendiri”.
Ada sebuah kutipan yang diucapkan seorang tokoh investasi yang terkenal warren buffet, beliau mengatakan “Price is what you pay. Value is what you get.” (Harga adalah apa yang Anda bayar. Nilai adalah apa yang Anda dapatkan.)
Kutipan ini menjadi kaca pembesar bagi ironi yang terjadi di banyak desa kita.
Bukan karena desa tidak mampu menjalankan usaha/bisnis. Bukan pula karena mereka tak punya produk. Tapi karena badan usaha seperti koperasi atau BUMDes sering kali lahir bukan dari visi ekonomi, melainkan dari tekanan administratif.
Pendirian koperasi atau BUMDes acap kali dilakukan sekadar untuk memenuhi syarat pencairan dana pusat, bukan karena ada rencana dagang jangka panjang yang sudah tercatat.
Alasan pendirian dan pembentukan koperasi atau BUMDes bukan karena sudah ada rantai pasok yang dipetakan, bukan pula karena desa memang berniat menjadi pelaku ekonomi lokal yang tangguh dan memiliki visi kebermanfaatan.
Akhirnya yang terjadi desa memang “membayar harga” dengan mendirikan koperasi, membuat laporan, melengkapi dokumen, dan mencantumkan badan usaha dalam APBDes. Tapi apa yang mereka dapat? Sering kali bukan “nilai”, melainkan beban koperasi yang macet, badan usaha yang mandek, dan laporan keuangan yang tak pernah benar-benar menggambarkan perputaran ekonomi nyata.
Nilai seharusnya hadir dalam bentuk ketahanan pangan lokal, hubungan dagang antar desa, peningkatan pendapatan warga, hingga tumbuhnya pasar desa yang sehat. Tapi semua itu tak akan pernah muncul jika pendirian badan usaha hanya berorientasi pada formalitas, bukan pada kebermanfaatan.
Desa harus mulai bertanya …
Apakah kita hanya ingin memenuhi syarat kertas?
Atau benar-benar ingin menciptakan nilai yang bertahan?
Sebab, seperti kata Buffett “harga” bisa dibayar oleh siapa saja, tapi “nilai” hanya akan hadir jika desa berani berubah arah.
Oleh: Orang Biasa yang Sudah Kenyang Menyaksikan “Revolusi Desa” Berkali-kali.