Ketua DPR-RI Menerima Naskah RUU KUHAP Dari Ketua Komisi III DPR-RI Pada Selasa (18/11). Tangkapan YouTube
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah disahkan menjadi undang-undang pada Selasa (18/11) kemarin. KUHAP adalah petunjuk teknis pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 dan akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026 yang akan datang.
Dengan mengetokkan palunya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Puan Maharani menyatakan bahwa undang-undang itu disahkan oleh parlemen Indonesia, dan akan mulai berlaku tanggal 2 Januari 2026.
Menurut Puan, KUHAP merupakan suatu kondisi yang mendesak untuk disahkan mengingat KUHAP yang lama disahkan pada tahun 1971 atau 44 tahun yang lalu. Dengan usia setua itu, KUHAP perlu direvisi dan diperbarui sehingga dapat menyesuaikan perkembangan zaman.
Namun, pengesahan Undang-Undang KUHAP ini dianggap terlalu terburu-buru mengingat materinya banyak yang masih mendapatkan kritikan para pemangku kepentingan.
Salah satu kritiknya adalah pendapat bahwa materi undang-udang ini memberikan kebebasan terlalu besar kepada Polisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (Polri) dalam menangani suatu perkara dan tindak kriminal. Para kritikus dari kewenangan kepolisian menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut rentan disalahgunakan.
Kritik lainnya adalah kewenangan Polisi untuk membekukan tabungan warga secara sepihak. Selain itu di dalam undang-undang ini polisi mendapatkan kewenangan untuk membongkar isi media sosial termasuk gawai dan gadget yang dimiliki warga. Polisi juga diberikan kewenangan untuk merampas semua peralatan Listrik milik warga, meski pun ia bukan tersangka dari suatu tindak pidana. Polisi juga berwenang untuk menangkap, melarang meninggalkan tempat, menggeledah, dan bahkan melakukan penahanan terhadap warga tanpa suatu tuduhan tindak pidana. Dengan kata lain, pihak penegak hukum bisa sewenang-wenang melakukan penggeledahan.
Menanggapi kritikan tersebut, Ketua Komisi III DPR-RI Habiburokhman, menjawab kritikan bahwa pihak kepolisian tak dapat dimintai pertanggungjawaban dalam menyadap warga dan para pihak. Habiburokhman memastikan bahwa bahwa aturan penyadapan oleh polisi tidak dimasukkan dalam undang-undang baru tersebut. Komisi III DPR-RI adalah komisi yang membawahi keadilan, hak asasi manusia dan hukum.
Dalam rekam jejak pembahasannya, Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang KUHAP diketahui menyepakati 14 (empat belas) substansi yang masuk sebagai kerangka pembaruan hukum acara pidana sebagai berikut:
- Penyesuaian hukum acara pidana dengan perkembangan hukum nasional dan internasional,
- Penyesuaian nilai hukum acara pidana sesuai KUHP baru yang menekankan pendekatan restoratif, rehabilitatif, dan restitutif,
- Penegasan prinsip diferensiasi fungsional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, dan pemimpin masyarakat,
- Perbaikan kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum serta penguatan koordinasi antarlembaga,
- Penguatan hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi, termasuk perlindungan dari ancaman dan kekerasan,
- Penguatan peran advokat sebagai bagian integral sistem peradilan pidana,
- Pengaturan mekanisme keadilan restoratif,
- Perlindungan khusus kelompok rentan seperti disabilitas, perempuan, anak, dan lansia.
- Penguatan perlindungan penyandang disabilitas dalam seluruh tahap pemeriksaan,
- Perbaikan pengaturan upaya paksa dengan memperkuat asas due process of law,
- Pengenalan mekanisme hukum baru seperti pengakuan bersalah dan penundaan penuntutan korporasi,
- Pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi,
- Pengaturan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban atau pihak yang dirugikan,
- Modernisasi hukum acara pidana untuk mewujudkan peradilan cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel. [RV]