Juru Bicara Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardana. Dokumentasi Polri
Jakarta – Satuan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror POLRI memberikan keterangan bahwa saat ini perekrutan teroris sudah merambah kepada golongan anak-anak. Anak-anak yang telah diamankan oleh Densus tersebut berusia antara 10 hingga 18 tahun.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas POLRI, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko mengungkapkan hal tersebut pada hari Selasa (18/11) kemarin.
“Propaganda didiseminasi dengan menggunakan video pendek, animasi, meme, serta musik yang dikemas menarik untuk membangun kedekatan emosional dan memicu ketertarikan ideologis,” tuturnya.
Brigjen Trunoyudo juga menyebutkan faktor sosial yang mempertajam kerentanan terhadap anak-anak untuk terpancing masuk dalam jaringan terorisme. Faktor sosial yang disebutkan itu mencakup perundungan dan kondisi keluarga yang retak dan berasal dari keluarga yang broken home.
“Kurang perhatian keluarga, pencarian identitas jati diri, marginalisasi sosial, serta minimnya kemampuan literasi digital dan pemahaman agama,” jelas dia.
Selanjutnya, Juru Bicara Densus 88 AKBP Mayndra Eka Wardhana menyatakan terdapat 110 orang anak yang direkrut jaringan terorisme sepanjang tahun 2025. Sebelumnya, dalam periode 2011-2017, Densus 88 mengamankan hanya 17 anak.
Para teroris muda itu direkrut oleh 5 (lima) orang teroris dewasa yang telah ditangkap dalam kurun waktu Desember 2024 hingga November 2025.
Yang pasti, kata Mayndra, ada beberapa proses yang sedari awal tidak secara langsung menuju ideologi terorisme. Anak-anak dibuat tertarik terlebih dulu, kemudian diarahkan mengikuti grup umum, dan dilanjutkan ke grup yang lebih kecil atau privat.
Mayndra menyebutkan para perekrut tersebut menggunakan berbagai platform media sosial dalam bentuk jamak. Salah satunya melalui permainan atau game online. Game online adalah salah satu platform untuk menarik minat anak-anak dan pelajar. Mereka dibuat tertarik terlebih dahulu sebelum diajak berkomunikasi secara personal.
“Jadi tentunya yang di platform umum ini akan menyebarkan dulu visi-visi utopia ya. Yang mungkin bagi anak-anak, itu bisa mewadahi fantasi mereka sehingga mereka tertarik,” ungkap Mayndra.
Ia menambahkan dalam setiap platform ada sarana komunikasi chat. Di sanalah dibuat komunikasi dan para anak tersebut kemudian dimasukkan ke dalam grup yang lebih khusus, yang lebih terenkripsi, yang lebih tidak bisa terakses oleh umum.
“Di situlah proses-proses indoktrinasi berlangsung. Jadi memang tidak bisa kita sebut satu platform saja, tetapi berbagai model,” Mayndra menandaskan.