Sebetulnya, Kapan Perbudakan Dihapuskan Dari Tanah Inggris?
Perbudakan (atau serfdom) di Kerajaan Inggris telah dihapuskan pada tahun 1574. Sejak tahun itu, tidak boleh ada kepemilikan manusia terhadap manusia di Inggris.
Inggris adalah salah satu negara Eropa yang secara awal menghapuskan kepemilikan manusia di tanahnya sendiri pada akhir abad XVI. Secara keseluruhan di Eropa Barat perbudakan dihapuskan pada jangka waktu tahun 1790 hingga 1820. Rusia termasuk yang terakhir untuk menghapuskannya pada 1861. Amerika Serikat baru menghapuskannya pada tahun 1860.
Pada abad XVIII, William Wilberforce lahir dari seorang bangsawan. Di kemudian hari saat ia dewasa, Wilberforce adalah seorang Anggota Parlemen yang mandiri dan tidak terafiliasi dengan partai politik mana pun yang berkampanye untuk menghapuskan perbudakan.
Ia menginginkan perbudakan dihapuskan dari semua wilayah Britania termasuk koloninya. Jadi penghapusan tersebut tidak berhenti di Inggris saja. Ia mengetahui bahwa perdagangan perbudakan adalah bisnis menguntungkan dengan para pemangku kepentingan yang tidak mudah disebut kaleng-kaleng.
Dari seorang keturunan bangsawan yang suka berfoya-foya dan hidup sesukanya, ia mendapatkan kesadaran untuk bertobat dan mulai menekuni menjadi seorang Kristen taat. Tak lama dari pertobatannya, ia membentuk Society for Effecting the Abolition of the Slave Trade.
Dengan dukungan Perdana Menteri yang juga sahabatnya William Pitt, pihaknya berhasil mengesahkan Undang-Undang Perdagangan Budak (Slavery Act) pada tahun 1807. Undang-Undang ini mengharamkan jual beli budak di koloni Britania mana pun apalagi menjadi salah satu pemampu perdagangan baik itu melalui pasar mau pun kendaraan baik laut mau pun darat.
Para abolitionist (pendukung penghapusan perbudakan) ini paham bahwa untuk menghapus perbudakan, mereka harus mematikan titik utamanya terlebih dahulu: perdagangan dengan rantai suplai utamanya berupa jalur perdagangan melalui pelayaran di Samudra Atlantik.
Sayangnya, Wilberforce meninggal pada Juli tahun 1833 sehingga tidak melihat pengesahan Undang-Undang Penghapusan Perbudakan (Slavery Abolition Act) yang disahkan pada Agustus 1833.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan itu maka Angkatan Laut Britania Raya berwenang melakukan tindakan pencegatan kapal-kapal yang membawa budak dari Benua Afrika menuju ke arah barat melalui Samudra Atlantik.
Apa Itu Pelayaran Perbudakan Atlantik?
Pelayaran perbudakan Atlantik adalah pelayaran dari kapal-kapal dalam jumlah besar yang berasal dari Benua Afrika dengan membawa manusia sebagai komoditi perdagangan.
Tujuan kapal-kapal tersebut adalah Benua Amerika, baik ke negara-negara Amerika Utara mau pun Amerika Selatan.
Di kedua kawasan tersebut, pembeli budak tidak hanya kaum kulit putih yang juga penguasa properti nan luas, tetapi juga kaum keturunan Afrika yang memiliki properti perkebunan yang megah.
Rantai Perdagangan Perbudakan Bergelimang Darah
Pada saat yang sama, perdagangan perbudakan yang diselenggarakan oleh orang-orang Afrika sendiri berjalan dengan marak.
Para budak itu dijual dalam Pasar Budak Arab, dimana diperkirakan telah terjadi jual beli manusia dalam jumlah jutaan. Letak pasar-pasar itu ada di Pesisir Barbary. Barbary adalah bagian utara dari Benua Afrika yang marak dengan perdagangan komoditi alamiah seperti kopi mau pun komoditi manusia.
Pada masa yang kelam ini, diperkirakan jumlahnya mencapai 12.000.000 hingga 18.000.000 warga dari suku-suku yang terdapat di Afrika menurut perkiraan para peneliti sejarah.
Para supplier budak atau penyedia manusia itu pada tahap awalnya melihat kesempatan mendapatkan keuntungan dari perdagangan manusia di lingkungan persukuan di Afrika sendiri.
Dengan berkembangnya zaman, para pedagang manusia itu melihat ada permintaan akan tenaga kerja di luar kawasan mereka. Melihat kenyataan itu, para elit politik Afrika mulai tertarik untuk menangkap anggota suku lain karena lama-kelamaan suplai manusia mulai sulit didapat kalau hanya berasal dari suku mereka sendiri.
Rata-rata budak tersebut dijual untuk menjadi tenaga kerja dan mengisi kebutuhan para penguasa di berbagai kerajaan dan kemaharajaan. Mereka dipekerjakan berdasarkan kondisi fisik, penampilan, dan keahlian masing-masing. Beberapa dari mereka dipekerjakan sebagai seniman, tentara, penasehat, dan sudah tentu sebagai gundik atau pun penghibur. (bersambung) [RV]