Seoul – Setelah lama tidak bertemu, dua pemimpin negara besar akhirnya bersua pada saat pertemuan Asia Pacific Economic Cooperation diadakan di Korea Selatan.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump terakhir bertemu dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada tahun 2019. Setelah itu ia kalah dari Joe Biden pada Pemilu 2020. Selama 6 tahun terakhir, Xi Jinping tetap menjadi Presiden Tiongkok.
Kemarin lusa, setelah menghadiri pertemuan awal APEC, kedua pemimpin tersebut menyediakan waktu untuk bersua dan mengadakan pertemuan sekitar 2 jam. Satu jam setengahnya adalah pertemuan teknis di antara para pejabat tinggi ke dua negara.
Pertemuan ini mendapat sorotan dari dunia internasional setelah beberapa lama keduanya mengeluarkan berbagai keputusan dan kebijakan yang saling merugikan negara saingannya. Atau setidaknya itulah yang dipikirkan oleh pihak Amerika Serikat saat memberikan berbagai persyaratan.
Keduanya juga memiliki pendapat sedikit berbeda setelah keluar dari pertemuan tersebut. Donald Trump menyebutkan pertemuan sebagai “menakjubkan”, sementara Xi Jinping menyebut bahwa kedua belah pihak telah mencapai penyelesaian “permasalahan perdagangan yang utama”.
Apa rincian dan hasil dari pertemuan, nampaknya dunia masih harus menunggu berbagai keterangan dari pejabat-pejabat terkait.
Yang pasti pertemuan itu menurunkan tekanan tinggi yang terjadi setelah para pemimpin ekonomi terbesar di dunia itu saling melontarkan persyaratan bagaikan para pemain catur dengan karakter masing-masing. Walau dengan pion berupa nasib berbagai negara yang terkena kebijakan-kebijakan yang mereka mainkan.

Yang dapat disimpulkan untuk sementara dari pertemuan dua tokoh tersebut adalah belum menghasilkan kesepakatan secara resmi, tetapi berbagai bocoran yang dapat ditemukan dalam berbagai media dan media sosial menunjukkan bahwa ke dua negara besar itu berada pada titik penting untuk mencapai kesepakatan.
Trump dalam keterangannya kepada awak media mengatakan bahwa setidaknya ada 4 tindakan penting:
Pengenaan tarif kepada impor Tiongkok diturunkan dari 57% menjadi 47%. Tambahan pula, pengenaan tarif terhadap produk terkait fentanil dari Tiongkok akan dikurangi dari 20% menjadi 10% dan akan segera berlaku saat itu juga.
Sengketa soal ekspor hasil bumi langka milik Tiongkok juga diselesaikan dimana Tiongkok setuju untuk menghilangkan berbagai rangkaian hambatan yang mencekam rare earth elements atau logam tanah langka. Dan Tiongkok setuju menjamin suplai sumber daya langka tersebut setidaknya untuk satu tahun yang disahkan dalam pakta perdagangan.
Tiongkok akan segera meneruskan membeli kedelai dalam jumlah besar dari petani Amerika Serikat. Kedelai (soybean) ini adalah salah satu unit perdagangan menguntungkan bagi Amerika Serikat.
Tiongkok akan segera berunding langsung dengan perusahaan Amerika Serikat NVDIA yang terkena larangan Amerika Serikat dalam memperdagangkan chip yang menjadi motor artificial intelligence kepada Tiongkok.
Amerika Serikat akan menghentikan penyidikannya terhadap pembangunan armada kapal Tiongkok.
Kelihatannya semua akan balik lagi seperti biasa.
Tetapi dalam suatu tindakan yang mengejutkan, seluruh negara ASEAN telah mengadakan kerja sama dengan Tiongkok sebelum pertemuan Trump dengan Xi Jinping. Kedua kubu yakni ASEAN dan Tiongkok sama-sama mengalami pukulan karena pemberlakuan tarif dari Amerika Serikat.
Menurut statistik dari ASEAN, Tiongkok adalah mitra perdagangan terbesar bagi kelompok negara tersebut. Angka perdagangan kedua belah pihak mencapai USD711 miliar pada tahun 2024.

Tiongkok juga bermaksud untuk meningkatkan perdagangan dengan ASEAN mengingat kawasan itu memiliki GDP (gross domestic product) yang mencapai angka fantastis USD3.8 trilyun sebagaimana disebutkan oleh kantor berita Reuter.
Perdana Menteri Tiongkok Li Qiang dikutip sebagai berikut, “Kami harus meningkatkan perdagangan dan pembebasan pemberian investasi serta fasilitasi serta memperkuat integrasi industri dan saling ketergantungan (di antara kami – red).” Hal itu dikatakan olehnya pada saat berada dalam pertemuan dengan para pemimpin ASEAN pada Selasa (29/10) lalu.
Tiongkok jelas memperlihatkan keinginan baik untuk membuka diri sebagai layaknya suatu perekonomian terbuka meski pun selalu mendapatkan hambatan dari negara-negara maju lain. [RV]