Jakarta – Bagi para penyusun peraturan perundangan ada 3 (tiga) pilar yang berkaitan dengan ekosistem digital.
Yang pertama adalah keamanan nasional dengan tujuan menjaga stabilitas dalam ruang digital. Yang ke dua merupakan gabungan kepentingan bagi seorang pengguna media sosial yakni privasi dan sekaligus kebebasan dunia digita. Terakhir, yang ke tiga adalah kepentingan penyelenggara platform digital yang menekankan pada kemampuan keberlanjutan usaha dan inovasi.
Hal itu disebutkan oleh Ardie Sutedja, seorang pakar berpengalaman di bidang keamanan siber. Ia merujuk pada beberapa contoh terbaru dari ketiga hal yang saling berkelindan dalam kehidupan nasional dan terjadi pada baru-baru ini.
Yang pertama adalah kejadian di Nepal dimana pada saat sebelum terjadinya penolakan keras masyarakat, pemerintah setempat mewajibkan identifikasi pengguna media sosial melalui Pedoman Pengelolaan Media Sosial yang disahkan pada 2021. Kebijakan ini menghadapi penolakan keras dari masyarakat, termasuk komunitas internasional. Tidak heran kerusuhan yang terjadi Agustus lalu terjadi setelah Pemerintah Nepal memblokir penggunaan media sosial. Walau pun tujuan dari Pemerintah Nepal adalah sesuai dengan kewenangannya sebagai pengemban amanat warganya. Pemblokiran dilakukan agar tidak terjadi koordinasi antara para pelaku protes.
Yang ke dua adalah kasus di India dimana pemerintahnya pernah mengusulkan kebijakan yang mengharuskan platform media sosial untuk memverifikasikan identitas pengguna melalui Rancangan Undang-Undang Teknologi Informasi. Naskah ini mati di bawah pisau oleh Mahkamah Agung India sebelum sempat disahkan karena dianggap melanggar hak privasi warga negara yang dijamin negara.
Lalu bagaimana Indonesia?
Menurut pendiri ICSF (Indonesia Cyber Security Forum) itu, Indonesia bisa mempertimbangkan pendekatan bertahap dan proporsional.
Ardie menyebukan perlunya:
Sistem verifikasi berjenjang berdasarkan tingkat risiko. Akun dengan jumlah pengikut di bawah ambang batashanya perlu verifikasi dasar. Sementara akun dengan pengikut berjumlah besar dan dapat dikategorikan sebagai influencer, maka ia memerlukan verifikasi identitas yang ketat.
Teknologi verifikasi terenkripsi dan terdistribusi. Metoda ini tidak mewajibkan pengungkapan identitas secara total kepada platform, melainkan menggunakan sistem token dan atau sertifikasi dari pihak ke tiga yang terpercaya. Data tersimpan secara terenkripsi sehingga akses terhadap identitas asli pemilik akun diatur secara teratur dan dapat diberikan dalam situasi genting berdasarkan persyaratan hukum.
Kerjasama dengan Berbagai Pemangku Kepentingan. Kerja sama antara pemerintah, platform media sosial, akademisi dan masyarakat sipil dalam menangani konten berbahaya tanpa membocorkan identitas pemilik akun.
Program Literasi Digital Komprehensif. Metoda ini merupakan program edukasi komprehensif agar menggunakan akun dengan bertanggung jawab yang mencakup kemampuan membedakan informasi yang tidak akurat dan memahami konten yang tidak terverifikasi.
Insentif Perilaku Positif Bagi Pelaku Di Platform Digital. Metoda ini mengembangkan sistem insentif dalam ekosistem digital dengan memberikan fitur premium atau token digital dan diskon untuk layanan bagi mereka yang positif dalam menggunakan media sosial. Perilaku mencakup, antara lain, menyebarkan informasi terverifikasi, berpartisipasi dalam diskusi konstruktif dan melaporkan konten berbahaya. [RV]