Jakarta – Berita tentang banyaknya anak yang keracunan makan dari Program MBG di sekolahnya masing-masing membuat banyak pihak yang meminta agar Program ini dihentikan.
Seorang penggiat pers dan lulusan Governance, Risk, And Compliance memiliki pendapat menarik. Hendra J Kede berpendapat bahwa usulan MBG dihentikan itu sangat tidak berperikemanusiaan, dan menyalahi (setidaknya) sila ke dua dari dasar negara Pancasila.
“Itu pendapat saya. Yang waktu kecil bisa makan satu orang satu telor itu hanya sebuah mimpi indah. Dan saya yakin masih sangat banyak anak Indonesia yang sedang mimpi indah seperti saya waktu kecil itu,” ujarnya kepada RV saat dihubungi via telepon.
Baginya disitulah kegunaanilmu Governance, Risk, and Compliance (GRC) alias Tata Kelola MBG berbasi Manajemen Risiko dan Kepatuhan terhadap hukum dan Standard Operating Procedure (SOP).
“Kasus keracunan tentu bisa diproses hukum, silahkan saja. Namun, mencari akar masalah kenapa keracunan itu terjadi adalah bagian penting dari Manajemen Risiko agar dapat diketahui mitigasinya untuk diterapkan ke depannya atau di tempat lain,” ujar Ahli Hukum yang bersertifikat sebagai mediator juga itu.
Mengenang masa kecilnya, ia ingat saat menjelang kol dipanen di daerahnya, tanaman itu kadang disemprot pestisida oleh petani. Maka disini muncul sebuah risiko. Apabila kol itu dimasak menjadi sayur sop maka pestisida itu belum tentu hilang.
Pestisida yang masuk ke lapisan tidak mudah hilang atau larut apabila dicuci seadanya. Perlu diingat, SOP yang harus dipatuhi adalah bahan sayur kol tetap harus dicuci-ulang setelah dipotong-potong. Inilah mitigasi risiko berbasis kepatuhan terhadap SOP.
Saat ditanya mengapa ada yang tidak terpapar keracunan makanan meski makan sayur sop, ia berkata kemungkinan sumber sayur di tempat tersebut tidak disemprot dengan pestisida.
SOP yang meminimalisir risiko adalah mencuci kol setelah dipotong tanpa perlu mencari informasi perilaku petani menjelang memanen kol.
Maka semua kepatuhan ini selayaknya harus dilakukan di semua tingkatan, baik dari pengambil kebijakan hingga juru masak. Indonesia harus membangun budaya aman dari risiko (GRC Culture).
Menghentikan program MBG itu sangat tidak berperikemanusiaan, sama halnya dengan tidak bengisnya pemaksaan menandatangani surat pernyataan agar tidak menuntut secara hukum jika siswa keracunan MBG. Pemaksaan oleh pihak tertentu bagi keuntungan dirinya sendiri, sudah pasti tidak bisa dibiarkan begitu saja. [RV]