Sejak Agustus 1857 hingga Januari 1858, Jhansi berada pada posisi damai di bawah pengendalian Laksmi Bai. Tentara East India Company tidak tampak batang hidungnya. Hal ini membuat para penasehat Laksmi Bai mulai mengingatkan Laksmi Bai agar Jhansi memerdekakan diri dari Britania Raya. Mereka mengingatkan juga bahwa kondisinya yang menjadi mantan Ratu Jhansi adalah karena doktrin yang sewenang-wenang mengambil alih suatu kerajaan yang berdaulat. Bahwa selama ini Raja atau Ratu selalu berhadapan dengan orang yang berpangkat kapten, paling tinggi mayor, dari kesatuan East India Company dalam menegosiasikan kemashalatan kerajaan. Hal ini berarti orang Britania melecehkan posisi sakral penguasa kerajaan.
Laksmi Bai tidak langsung menyetujui dan masih memikirkan langkah selanjutnya karena ia menyadari biaya dari perang terbuka. Tindakan klandestinnya memang menyenangkan pada saat ia masih muda remaja karena ia tidak memiliki apa pun untuk dipertahankan. Tetapi setelah ia mengampu posisi sebagai penguasa kerajaan, sebagai seorang istri, dan seorang ibu, maka ia menyadari bahwa tidak mudah untuk memerdekakan diri dari Britania Raya.
Posisi ini masih sama sampai pada Maret 1858. Pada saat itu Laksmi Bai sudah dianggap sebagai pelaku pembunuhan orang Eropa, dan bekerja sama dengan para pemberontak. Perwakilan pemerintahan Britania Raya sudah memutuskan untuk mengadakan ekspedisi penghukuman terhadapnya. Mereka mengirimkan Hugh Rose, veteran yang sangat dihormati pada saat perang Krimea, yang mengepalai 9 orang jenderal berpengalaman di dalam pasukan yang dibawanya ke depan gerbang Jhansi. Tanpa negosiasi apapun ia langsung mengeluarkan ancaman bahwa apabila sampai 23 Maret 1858 Jhansi tidak menyerah dan membuka gerbang bentengnya, maka Jhansi akan ia hancurkan. Mendengar ancaman ini, Laksmi Bai murka. Semua kerjasama dan ketaatannya selama ini dilecehkan begitu saja oleh pihak asing. Maka keluarlah sabdanya, “Jhansi akan berjuang mencapai kemerdekaan. Sesuai dengan firman Krisna, ketika kita menang, maka kita akan menikmati buah kemenangan, tetapi apabila kita dikalahkan dan terbunuh di medan perang, kita akan mendapatkan keagungan dan keselamatan abadi.”
Perintah yang sudah ditunggu-tunggu oleh orang di sekitarnya ini segera menjadi api yang menyala dan membakar rakyat Jhansi. Meriam-meriam Jhansi yang bertengger megah penuh ancaman di atas dinding Benteng Jhansi berdentum pada 23 Maret 1858 seakan menyatakan kemerdekaan mereka.
Hugh Rose membombardir kota Jhansi dan membuat serangan dengan empat kolom ke kota Jhansi. Saat itu Laksmi Bai baru memutuskan untuk mengungsi ke Benteng Jhansi. Tetapi kondisi Benteng Jhansi juga rontok di beberapa tempat sehingga memungkinkan tentara musuh merangsek masuk. Pertempuran kota pun terjadi. Perempuan dan laki-laki melawan tentara musuh habis-habisan di setiap tempat mereka tinggal dan bertahan. Tidak ada tempat yang lowong dari penjagaan rakyat Jhansi. Disebutkan oleh pencatat sejarah Thomas Lowe bahwa tidak ada pengampunan yang diberikan kepada rakyat Jhansi.
Sebelum pertempuran terjadi, Laksmi Bai sudah mengirimkan permintaan tolong kepada sahabat-sahabat masa kecilnya yakni Tatya Tope dan Nana Sahib yang bersama-sama berusaha untuk merebut kemerdekaan kerajaan mereka, Bithoor. Mereka telah berhasil memenangkan berbagai pertempuran, antara lain di Kanpur. Tatya Tope bahkan disebut sebagai jenderal yang mahir melakukan perang gerilya. Nana Sahib sebagai putra mendiang Baji Rao II juga berupaya untuk mengembalikan kekuasaan moyangnya. Namun nama baiknya tercoreng karena peristiwa pembantaian sejumlah anak-anak dan perempuan yang dijanjikan untuk diselamatkannya di Kanpur.
Pada 31 Maret 1857 Tatya Tope dengan 20.000 orang dalam pasukannya tiba di belakang pasukan Hugh Rose. Menghadapi musuh yang tak diperhitungkan ini, Hugh Rose menarik hampir semua pasukannya untuk menghadapi Tatya Tope. Selanjutnya Pertempuran Jhansi berlangsung di dalam dua medan, yang pertama pertempuran untuk mempertahankan Benteng Jhansi, dan yang kedua adalah pertempuran untuk menekan pasukan East India Company dari arah luar kota.
Pertempuran yang berlangsung dua minggu itu tidak berjalan lancar bagi Tatya Tope maupun Laksmi Bai. Pada tanggal 4 April 1858, diputuskan di dalam kesepakatan bersama bahwa malam itu saatnya untuk mengungsikan keluarga Laksmi Bai keluar dari Jhansi. Tradisi oral menyebutkan ia menggendong putranya di punggung dengan selendang satin dan diiringi oleh pasukan terpilih dan para pengawal setianya termasuk Moti Bai, Kuda Baskh, dan Gaulam Khan ia berkuda berusaha keluar dari Benteng Jhansi yang dikepung. Moropant Tambe juga mendampingi putrinya. Jumlah mereka mencapai 1200 orang yang semuanya berkuda. Seekor gajah juga merupakan bagian dari pelarian ini karena membawa semua uang emas Jhansi yang masih dapat diselamatkan oleh Laksmi Bai. Rombongan mereka mengular keluar dari Benteng Jhansi masuk ke Kota Jhansi. Rakyat Jhansi yang mencintainya keluar dan berdiri di pinggir jalan menyampaikan selamat jalan bagi ratu dan putranya.
Legenda menyatakan setelah terpergok oleh pasukan East India Company yang menghujaninya dengan peluru, Laksmi Bai bertempur dengan dua tangan memegang pedang yang tak henti-hentinya menebas musuh yang berani menghadangnya, dan kendali kudanya ia gigit di antara kedua rahangnya. Pada akhirnya ia terpisah dari rombongannya dan ada pada posisi terdesak di ujung dinding Benteng Jhansi. Tanpa tedeng aling-aling Laksmi Bai menghentak Badaal yang setia untuk terjun dari dinding Benteng Jhansi. Ia dan putranya selamat dari penerjunan tersebut, tetapi Badaal binasa. Di bawah ia berhasil melarikan diri dan akhirnya bertemu dengan Moti Bai dan pengawal setia lainnya. Menunggangi kudanya yang lain yang sudah dipersiapkan, Laksmi Bai meneruskan pelariannya. Sementara Moti Bai, Kuda Bakhsh dan pengawal setia lainnya bertahan di tempat untuk mencegat prajurit musuh dan memberikan kesempatan bagi Laksmi Bai untuk menjauh. Itu lah terakhir kalinya Laksmi Bai melihat sahabat-sahabatnya dalam keadaan hidup. Moti Bai yang awalnya membenci dan mengupayakan kejatuhan Laksmi Bai selanjutnya jatuh berkalang tanah membela sahabatnya.
Menahan sakit dan kesedihan, Laksmi Bai berkuda terus dengan diiringi oleh sisa pengawalnya. Ayahnya sendiri terpisah dan terluka tembak, sebelum akhirnya ditangkap oleh tentara East India Company di Datia. Saat mencapai Kalpi ia berjumpa dengan Tatya Tope, Rao Sahib dan pasukan mereka dan mulai merencanakan strategi peperangan kemerdekaan mereka.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Hugh Rose dan pasukan pemburunya akhirnya tiba di Kalpi. Maka pada tanggal 20 Mei 1858 terjadi pertempuran Kalpi. Tetapi sekali lagi tentara Hindustan mengalami kekalahan walaupun Hugh Rose sudah kena sun stroke yang membuatnya terkapar tak berdaya.
Dari sana mereka berkuda ke Gwalior untuk mencari kesempatan bekerja sama dengan Maharaja Gwalior atau perwakilannya. Gwalior terkenal akan kesetiaannya kepada Britania Raya. Sehingga adalah mengejutkan saat mereka tiba di benteng yang besar itu, sambutan pasukan yang bermarkas di benteng terasa luar biasa terhadap mereka. Ternyata Maharaja Gwalior sudah melarikan diri dari kerajaannya. Yang menyambut mereka adalah tentara pemberontak. Laksmi Bai, Tatya Tope dan Rao Sahib masuk ke dalam benteng dengan sambutan meriah.
Pada 3 Juni 1858 Rao Sahib, keponakan Nana Sahib sang penguasa Kanpur setelah Baji Rao II meninggal, langsung mengadakan durbar atau pertemuan antara pembesar dengan warga secara besar-besaran seakan telah mendapatkan kemenangan atas Britania. Saat itu Rao Sahib dan pasukannya membayangkan kemenangan karena para tentara pemberontak akan bertempur di sisi mereka. Harapan itu memang tidak salah, tetapi mereka keliru memperhitungkan kondisi tentara mereka sendiri, yang kebanyakan terdiri dari berbagai elemen masyarakat Hindustan. Ada suku Pathan, Afghanistan, dan lain-lain, belum lagi desertir Sepoy yang juga terdiri dari berbagai macam bangsa dan kesatuan bahkan agama. Selain itu mayoritas pasukannya adalah tentara yang masih baru sehingga mereka belum berpengalaman dalam menghadapi peperangan. Tidak mudah mengendalikan tentara yang begitu majemuk latar belakangnya.
Secara mencolok, Laksmi Bai absen dari durbar itu karena tidak menyetujui perilaku seperti semacam. Sepanjang siang dan malam, ia melatih para prajurit Jhansi dan pergi berkuda mempelajari kondisi dan topografi lingkungan Gwalior, karena ia ingin memutuskan dimana mereka akan bertahan di benteng tersebut. Setelah mempelajari dan menganalisa kondisi lingkungan Gwalior selama berhari-hari, Laksmi Bai lalu memutuskan untuk menjaga bagian paling rentan dari Benteng Gwalior. Ia dan pasukannya berkemah di daerah perbukitan di antara Kotah-Ki-Serai dan Benteng Gwalior dan selanjutnya menunggu.
Pada 18 Juni 1858, Hugh Rose memerintahkan pasukannya untuk maju menyerang Gwalior melalui daerah perbukitan tersebut. Laksmi Bai dan para ksatrianya sudah bersiap menghadapi mereka. Ia dan pasukannya adalah satu-satunya penghalang antara Gwalior dengan pasukan East India Company. Tradisi oral India menyatakan bahwa ia menyerbu pasukan musuh dengan kedua pedangnya dan menghabisi tentara East India Company yang berusaha menghentikannya. Sampai suatu ketika, kudanya ragu untuk melompati musuhnya, sehingga seorang prajurit East India Company dapat menetakkan pedangnya ke tubuh Laksmi Bai dan melukainya. Dalam keadaan terluka parah, Laksmi Bai bersembunyi di pinggir jalan. Di sana ia ditemukan oleh seorang pendeta yang membantunya beristirahat di kompleks pertapaannya. Di dalam permintaannya yang terakhir ia minta kepada pendeta yang namanya tak tercatat tersebut untuk langsung memperabukan jazadnya apabila ia tak dapat bertahan hidup. Ia tak ingin tubuhnya disentuh dan didesekrasi oleh musuhnya.
Manikarnika gugur pada 18 Juni 1858. Ia baru berusia 30 tahun saat ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Bahkan musuhnya yang terlihai sekali pun tak dapat menahan diri untuk tidak memujinya. Hugh Rose menyebutnya “jenderal terbaik dan paling berbahaya dari semua pemimpin (pemberontakan)”. Ia menyaksikan, dari jauh, prosesi perabuan lawan terberatnya tersebut yang dilaksanakan dengan upacara besar (great) nan khusuk di bawah pohon asam
1857 akhirnya menjadi tahun penting bagi India karena pemberontakan Sepoy itu bukan sekedar persengketaan tentara bersenjata saja, melainkan karena ada impian kemerdekaan yang mengikutinya. Telah berpuluh tahun berlalu sejak saya menemukan kisah percintaan yang berlatar belakang pembantaian warga Britania Raya di wilayah India pada tahun 1857. Kesimpulan saya persengketaan ini adalah bibit upaya suatu bangsa yang tertindas untuk memerdekakan diri melawan tindakan semena-mena oleh suatu negara yang terletak ribuan kilometer dari subkontinen tersebut. Bahwa Doktrin Lapse sebagai produk kolonialisme di dalam ilmu politik internasional segala zaman merupakan kesalahan yang tidak dapat diterima dan sebagai hasil akhirnya menimbulkan kejahatan dan skandal internasional. Bahwa jantung dari persengketaan senjata tersebut adalah ketidak-adilan yang mengabaikan martabat masyarakat, local wisdom dan adat istiadat dan kepentingan setempat.
Pembalasan Britania Raya terhadap korban yang tewas dan kerugian yang diderita kalangan mereka selama 1857 adalah berupa tindakan yang ganas membabi buta. Pembalasan itu disebut oleh seorang sejarawan India sebagai genosida, yang memakan korban warga India sebanyak 10 juta karena berlangsung selama 10 tahun sejak terjadinya Pemberontakan Sepoy.
Sebagai catatan akhir dan terpenting, para bapak pendiri India menyebut Laksmi Bai sebagai salah satu inspirasi kemerdekaan India. Untuk mengenang keberanian dan cita-cita kemerdekaan India yang ia usung, berbagai institusi, lembaga pendidikan, dan taman nasional di India dinamakan atas namanya. Namanya juga diabadikan menjadi nama Kesatuan Wanita di Angkatan Perang Republik India pada saat negara tersebut mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 1947.
Nubuatan di karta astrologi Manikarnika terbukti tepat. Ia membawa nama harum bagi suami, wangsa, dan negaranya pada keagungan dan kegemilangan yang abadi. [RV]

Rujukan:
- Balachandran, PK. Rani Of Jhansi Through The Eyes Of Britishers, Hindustan Times
- Gupta, Alisha H. Overlooked No More: Rani Of Jhansi, India’s Warrior Queen Who Fought The British, New York Times
- Llewelyn-Jones, Rosie. The Other Victims Of 1857