Seorang teman menanyakan apa yang dimaksud dengan Marnikanika itu saat ia berkunjung ke rumah saya. Rupanya ia sedang scanning wifi di sekitar kami sambil bercakap-cakap dengan saya. Manikarnika adalah nama hotspot yang saya pakai untuk bekerja di rumah. Menjawab pertanyaannya, saya sampaikan bahwa Manikarnika itu adalah nama kecil seorang Ratu di Jhansi yang hidup pada pertengahan abad XIX.

Jawaban sambil lalu itu ternyata menarik perhatiannya, dan selanjutnya dia memberikan banyak pertanyaan yang sangat banyak. Saya cukup terkejut melihat dia menunjukkan perhatian cukup besar atas kisah ratu kerajaan kecil di India yang bagi sebagian orang Indonesia merupakan negeri dahaga. Sehingga akhirnya saya memutuskan untuk memberikan informasi sungguh-sungguh. Tulisan ini khusus ditulis untuk teman baik saya tersebut. Dan juga bagi mereka yang ingin tahu mengenai sejarah India secara selintas.

Manikarnika muncul dalam perhatian saya karena saya membaca buku Zemindar tulisan Valerie Fitzegerald pada saat saya masih remaja. Kisah itu menghantui saya karena mengisahkan pemberontakan di subkontinen India pada tahun 1857 yang mengakibatkan komunitas Inggris di Lucknow dan kota-kota lainnya di India dikejar dan dibantai oleh para pemberontak India. Semuanya berawal dari kemarahan para tentara Sepoy – yakni tentara India yang dikaryakan oleh kolonialis Britania Raya melalui East India Company – berkenaan dengan peluru untuk memperlengkapi mereka. Pada abad XIX, sebelum menembakkan peluru, seseorang perlu menggigit peluru tersebut untuk melepaskan cartridge-nya dan memasukkannya ke dalam senapan api. Peluru tersebut dilapisi dengan minyak sapi dan babi untuk melancarkan upaya memasukkannya ke dalam senapan api. Hal ini membuat baik kaum hindu maupun kaum muslimin yang bekerja di ketentaraan merasa dihina oleh East India Company. Sapi adalah hewan suci bagi kaum hindu, sementara babi adalah hewan haram bagi kaum muslimin. Sementara minyak yang melapisi peluru yang akan mereka tembakkan akan bersentuhan dengan bibir dan kemungkinan akan masuk ke dalam sistem pencernaan mereka. Terjadilah keonaran yang diinstigasi beberapa prajurit Sepoy di Merut, India. Para pencetus pemberontakan itu dihukum mati oleh East India Company untuk menjaga moral ketentaraan. Alih-alih tenang, para tentara Sepoy justru menjadi terbakar melihat perlakuan East India Company terhadap rekan-rekan mereka.

Sewaktu saya masih remaja saya hanya cemas memperhatikan keselamatan tokoh utama wanita, dalam hal ini Laura Hewitt, yang terlunta-lunta terpisah dari kekasihnya Oliver Erskine saat mereka terpisah dari pelarian dari zemindar (properti milik tuan tanah) Oliver. Akhirnya Laura tiba di kota Lucknow. Di sana ia mengungsi di dalam sebuah kompleks militer bersama sekelompok orang Britania yang berhasil melarikan diri dari pembantaian dari berbagai tempat di India. Selama berbulan-bulan, komunitas tersebut bertahan dan menunggu dengan harap cemas pertolongan dari pasukan East India Company yang dikabarkan akan membebaskan mereka.

Entah mengapa sewaktu remaja kisah ini sudah begitu menimbulkan kengerian yang bertahan bahkan setelah saya selesai membaca bukunya. Buku itu ditulis oleh seorang wanita Inggris dengan sudut pandang dari keselamatan tokoh-tokohnya. Wawasan saya belum terbuka untk memperhatikan segi sosial dan politik pemberontakan ini. Yang saya tangkap adalah pemberontakan 1857 adalah kekejaman orang India yang membunuh orang-orang Inggris dengan cara-cara tidak terhormat bahkan biadab. Bagi kolonialis, periode pertempuran ini disebut Pemberontakan Sepoy. Tiada unsur lain atau faktor yang mereka kaitkan dengan nasionalisme India, apalagi mengakui adanya tokoh-tokoh lain, terutama wanita, di dalam pemberontakan tersebut.

Setelah dewasa, setelah membaca novel oleh M M Kaye yang berjudul berjudul Shadow of the Moon yang mengambil periode yang sama saya baru menyadari ada hal yang lebih dari sekedar kekejaman Sepoy terhadap orang-orang Britania. M M Kaye yang merupakan cucu, putri, kakak, dan istri dari para tentara dalam Angkatan Perang India (British Raj) dan hidup di berbagai tempat di India memberikan kisah yang lebih kurang berimbang. Ia memiliki pengetahuan yang lebih dalam karena keluarganya sendiri ada yang mengalami atau setidaknya hidup pada masa Pemberontakan Sepoy ini.

Mengingat pada zaman saya dewasa muda belum ada mesin pencari google untuk mencari informasi, maka saya menemukan buku-buku yang rujukan – karena kisah ini begitu tak terlupakan oleh saya – tentang Pemberontakan Sepoy dan setidaknya itu melengkapi sebagian kecil dari aspek sosial, politik, dan ekonomi India.

Saya baru menyadari bahwa peristiwa berdarah pada 1857 adalah peristiwa yang menyentuh martabat dan harga diri orang-orang India di luar agamanya masing-masing dan merupakan bentuk awal dari nasionalisme India modern. Sebutan Pemberontakan Sepoy membuat peristiwa tersebut seakan hanya merupakan konflik bersenjata yang diinstigasi oleh karena ketidak-puasan dan keganasan sekelompok tentara bayaran terhadap kolonialis.

Kesadaran itu disempurnakan karena saya menemukan, boleh percaya boleh tidak, kisah sinetron India berjudul Jhansi ki Rani produksi 2008. Sinetron berjilid-jilid yang dibuat dengan sederhana tanpa CGI dan properti sederhana itu membuat saya semakin tertarik untuk mempelajarinya. Tetapi sinetron yang lengkap dengan bunyi petir dan gema yang dramatis dan efek angin yang disemburkan ke pemain utamanya tidak menutupi keindahan kisahnya sendiri. Disitulah saya mengenal tokoh Manikarnika untuk pertama kalinya. [RV]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Verified by MonsterInsights